2 September 2011

Pak Nu dan Zakat Lebaran


U’re inspirator!
Lebaran 1432 H sudah lewat beberapa hari. Tapi, aku tetep keukeuh mau posting soal lebaran dan pernak-perniknya *emang toko aksesoris? Hehe.
Dimulai dari kira-kira sepuluh hari sebelum lebaran *jauh amat ya? Tapi ada cerita yang menginspirasi nih. Waktu itu belum libur sekolah. Jadwalku hari itu adalah pelajaran fisika. Pelajaran yang susah-susah gampang, tapi menyenangkan. Gurunya pun punya sifat nano-nano. Menyenangkan, lucu, menginspirasi, dan aneh. Sebut saja Pak Nu *bukan Nahdlotul Ulama yak!
Baru masuk kelas, beliau sudah bertanya: “siapa di kelas ini yang belum bayar zakat fitrah?” hampir 85% dari 40 siswa di kelasku tunjuk tangan, menandakan pada belum bayar zakat wajib tsb. Termasuk aku. Hihi..
“loh?! Ini sudah 10 hari menjelang lebaran. Kenapa kalian belum bayar zakat?”
Kalau dipikir-pikir, 10 hari menjelang lebaran adalah waktu yang masih cukup lama ya? tapi, menrut Pak Nu nggak. 10 hari bukan waktu yang lama.
“coba kalian pikir. Kalo kalian mau menyerahkan zakat fitrah dengan waktu yang mepet lebaran. Misalnya, kalian menyerahkan pada amil zakat di masjid pada hari terakhir puasa. Amil zakat masih menunggu yang lainnya untuk bayar zakat sampai jam 10 malam. Dibagikan pada jam 11. Lha, mana ada pasar yang buka jam segitu? Dapat apa orang-orang tidak mampu itu? Misalnya ada nenek yang ingin membelikan baju lebaran untuk cucunya, apa ada toko yang buka? Misalnya belum ada lauk untuk lebaran, apa masih bisa beli di pasar? Makanya orang miskin di Indonesia itu kalau malam lebaran pasti kesusahan. Dan kalian tau, kenapa tadi tidak jadi turun hujan? Tidak usah pake teori geografi, fisika dan lainnya. Tidak jadi turun hujan ya karena masih ada dari kalian yang belum bayar zakat..”
Sungguh nggak pernah terpikirkan olehku sebelumnya. Hampir setiap tahun, aku dibayarkan zakat oleh orang tuaku pas malam takbiran. Mungkin apa yang diutarakan Pak Nu nggak sepenuhnya akan terjadi di sekitar kita. Mungkin perbandingan antara orang yang bener-bener nggak punya kayak contoh pak Nu di atas dengan orang yang kekurangan biasa hanyalah 1:20 atau 1:15 (ini menurutku). Tapi sebut saja ada 300 orang di sekitar kita, berarti ada sekitar 15 atau 20 orang yang sudah kita buat susah menjelang lebaran.
“siapa yang bayar zakat dengan uang sendiri? Yang sudah punya penghasilan sendiri?” Cuma 1 orang di kelasku yang mengaku punya penghasilan sendiri, dari hasil jualan pulsa. Da pun belum bayar zakat.
“Kalian punya tabungan, kan? Kenapa nggak belajar bayar zakat sendiri? Masa’ udah SMA gini belum bisa bayar zakat sendiri. Emang harga zakat berapa sih? Kalian keluarkan 20ribu saja sudah termasuk bagus.”
Banyak alasan yang riuh rendah diucapkan oleh anak-anak kelasku. Ada yang mau beli baju, bayaran buku, beli Alquran, dll.
“hey, tadi yang bilang mau beli alquran. Bayar zakat dulu ya! besok kalo uangnya kurang pas beli alquran, silahkan minta sama saya. Nanti saya tambahin. Yang penting itu bayar zakat dulu.”
Glek! Ya,ya? kenapa baru nyadar sekarang untuk bayar zakat sendiri? Toh, uang di dompetku Cuma akan berkurang 20 ribu.
Jadilah aku nyadar untuk bayar zakat sendiri. Bismillah... semoga diterima oleh Allah SWT dan jadi berkah. Nggak salah-salah kaka-kakak kelas yang pernah jadi murid Pak Nu selalu inget dan terkesan sama Pak Nu. Pak Nu memang menginspirasi. Thanks, Sir!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

>>Tinggalkan jejak.. :)